Kamis, 08 Mei 2014

Ketinggalan Pesawat ...


Ketinggalan Pesawat

Mencoba bersantai ditengah kepanikan yang melanda, mungkin ini kesalahan, tapi kami mencoba berfikir positif dan berharap semoga pesawat yang akan kami naiki belum berangkat.

Sidoarjo, 01-04-2014 16.45 WIB

”Eria udah dimana tong?” tanya gua sama Rentong.

”Katanya Eria udah di Bandara”, kata Rentong jawab santei.

”Jarak dari sini ke Bandara berapa lama mas?” tanya gue ke supir taksi.

”Wah, sekitar 1 jam mas, belum lagi kalau macet”, saut supir taxi.

”Mampuse, gimana ini … Pesawat kita kan jam 18.00 WIB, terus boarding pass kita kan di Eria” gue sedikit panik.

“Aduh mas, kenapa gak berangkat dari jam 4 sore tadi?”, tanya supir taxi.

“Tadi kami kira jarak dari rumah temen ke bandara deket mas, jadi kami santei-santei aja”, jawab Rentong menegaskan.

“Yaudah mas, saya bakal coba ngebut supaya masnya gak telat”, kata supir taxi yang bentar lagi berubah jadi SuperMan.

Mobil pun di gas sampe kecepatan 120 Km/jam, gak kebayang kalau misalkan kami ber-4 harus ketinggalan pesawat cuma karena santei-santei, gak jadi berangkat dan harus beli tiket lagi. Dalem hati yang bisa gue lakuin cuma berdo’a dan sedikit panik tentunnya.

Bener aja, sekarang udah jam 17.10 WIB, dan kita baru setengah perjalanan. Semua orang panik, dan Eria juga ikut panik. Waktu berjalan begitu cepat, tanda peringatan yang ada di dalam mobil pun berbunyi, menandakan kecepatan melebihi batas maksimal.

Untung aja, supir taxi ini bener-bener bukan pembalap gadungan, semua mobil dia salib tanpa merduliin peringatan dari kantornya sendiri. Kalau kata dia “Kepuasan pelanggan adalah segalanya”.

“Wuasiii … macet total”, didhut ikutan panik.

“Raf, Eria nelfon lagi ni, katanya harus burur-buru dateng, soalnya udah mulai check in”, kata Rentong.

“Yaudah berdo’a aja semoga sampe tepat waktu” Gua coba tenang padahal panik banget.

Setelah berubah jadi Ghost Rider, supir taxi meyakinkan bahwa kita bakal dateng tepat waktu. Setelah sampai dan membayar serta tak lupa mengucapkan terimakasih sama bapak taxi, kami bergegas berlari macem “Running Man”, cuma sialnya gak ada yang ngedokumentasiin momen langka ini.

Semua orang di Bandara menatap tajam sama kita, kepanikan yang melanda, ditambah keringat yang bercucuran udah jadi satu kombinasi yang saling terikat. Seolah-olah kita lagi maen game Realityshow di televisi swasta.

Ayo-ayo, kalian harus cepet masuk ke pesawat, udah dipanggil dari setengah jam yang lalu”, saut seorang ibu-ibu berkerudung dan 2 orang Remaja didepannya.

Ini tiket kalian, cepet masuk …. Lari cepet”, kata remaja cantik yang sambil tersenyum ngasih tiket dan ngasih semangat, sayangnya kami belum sempat berpelukan.

Dalam hati gue, “Siapa mereka?”, jangan-jangan ini emang lagi Realityshow dan kameranya tersembunyi. Yang penting adalah gimana caranya harus cepet masuk ke pesawat, check in segera dan menghentikan operator yang dari tadi memanggil nama kami.

Kepada saudara Renda Faizal, Rafli Riandi, Muhammad Irfa Udin, Samdhya Paramatathya Karmmanya, harap segera masuk karena pesawat akan Take Off sebentar lagi” kata operator yang mungkin sedikit jengkel.

Yang jelas kami udah gak ngerti agi itu operator ngomong apa, setelah check in secepat kilat, kami masih ditodong dengan pajak bandara yang biasa disebut Airportax. Gue gak ngerti kenapa udah bayar mahal buat tiket harus bayar lagi buat pajak, apalah ini. Mau gak mau uang di kantong segera dirogoh dari dompet masing-masing, setelah bayar perjuangan kami belum berakhir.

Berlarian kayak orang dikejar Terminator, sambil bawa tas carir yang mungkin sekitar 15 kg, tapi apalah arti beratnya beban kalau kami gak jadi berangkat ke Makassar.

Alhamdulillah bis masih setia menunggu kami, dengan muka supir yang cemberut kami berusaha mengatur nafas yang dari tadi enggak karuan. Di dalam sanapun ternyata masih ada Eria yang masih setia menunggu, dan pada akhirnya kami kena omel Eria.

Ada satu pertanyaan yang masih gue simpen selama kami lari ?, siapa ibu-ibu dan 2 remaja yang memberikan tiket kami tadi ?, dan pertanyaan itu gue tanyakan ke Eria yang lagi duduk tersipu dengan muka cemberut super kecut.

Makasih ya tante Lie, kalau gak ada Tante mungkin semuanya berantakan” Eria menjawab telfon yang baru saja diangkat.

Lah kok dia bilang tante Lie, ternyata yang tadi memberikan tiket itu tante Lie dan kedua anaknya. Rasa bersalah timbul dalam hati gue, tadi kami belum sempat ngucapin terimakasih, yang kami lakuin cuma lari kepanikan. Dari hal kecil aja menyebabin gue belum sempet kenalan sama anak gadisnya #Sudahlah.

Akhirnya kamipun masuk ke dalam pesawat, kami baru sadar, bagasi yang sudah kami bayar itu sia-sia, tas carir yang dari kemarin kami timbang pake kiloan itu gak ada gunanya, berharap beban tidak melebihi kapasitas sebesar 15Kg cuma perhitungan matematika semata.

Tas carir itupun kami masukan ke dalam kabin pesawat, para Pramugari yang harusnya ramah menjadi sedikit menyebalkan, wajar saja kami adalah orang yang ditunggu tunggu dari tadi, dan mereka harus menerima kenyataan kalau tas sege ini semena-mena masuk dalem kabin. Tapi yasudahlah, yang penting gue bisa menghela nafas panjang dan sedikit lega, menerima kenyataan bahwa sore ini kami mengalami hal yang cukup spektakuler dalam hidup, dan menerima fakta bahwa perjalanan menuju Makassar akan segera dimulai.

Yuhu ….”





Tidak ada komentar:

Posting Komentar